SUTRIYADIN
“NIKAH SIRI DAN NIKAH MUT’AH”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah ibadah, sesuatu
yang telah diteladani oleh Rasulullah SAW. Namun meski pun demikian, tidak
semua pernikahan itu bernilai ibadah, ada juga pernikahan yang tergolong
makruh, bahkan haram (bathil).
Untuk itu, dalam makalah ini kami
mencoba sedikit mengulas tentang pernikahan, khususnya tentang “nikah Siri dan
Nikah Mut’ah”.
1.2.
Rumusan Masalah
Terkait dengan uraian di atas, kami
merumuskan beberapa masalah, yakni:
a. Apa yang dimaksud dengan nikah siri
dan bagaimana menurut hukum (Hukum Negara dan
Syari’at Islam) ?
b. Apa pula yang dimaksud dengan nikah
mut’ah serta bagaimana menurut pandangan Islam ?
1.3.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan kami menulis makalah
ini adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan keberagamaan kita, khususnya
dalam masalah pernikahan (siri dan mut’ah).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Nikah
Siri
a.
Pengertian Nikah Siri
Nikah secara bahasa adalah berkumpul
atau bercampur, sedangkan menurut syariat secara hakekat adalah akad (nikah)
dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual) menurut pendapat
yang shahih, karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah
dalam kitab Allah -Subhanahu wa ta’ala- kecuali untuk makna at-tazwiij
(perkawinan). Kata “siri” berasal dari bahasa Arab “sirrun” yang
berarti rahasia, atau sesuatu yang disembunyikan. Melalui akar kata ini Nikah
siri diartikan sebagai Nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan Nikah pada
umumnya yang dilakukan secara terang-terangan.
Nikah siri sah secara agama dan atau
adat istiadat, namun tidak diumumkan pada masyarakat umum, dan juga tidak
dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara, yaitu Kantor Urusan
Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi yang
beragama non Islam. Ada kerena faktor biaya, tidak mampu membiayai administrasi
pencatatan; ada juga disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang
melarang pegawai negeri menikah lebih dari satu (poligami) tanpa seizin
pengadilan, dan sebagainya. Ketiga; Nikah yang dirahasiakan karena
pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut menerima stigma
negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu Nikah siri atau karena
pertimbangan-pertimbangan lain yang akhirnya memaksa seseorang merahasiakannya.
Nikah siri kadang-kadang
diistilahkan dengan nikah “misyar”. Ada ulama yang menyamakan pengertian
kedua istilah ini, tetapi tidak sedikit pula yang membedakannya. Nikah siri
kadang-kadang diartikan dengan nikah “urfi”, yaitu Nikah yang didasarkan
pada adat istiadat, seperti yang terjadi di Mesir. Namun nikah misyar dan nikah
urfi jarang dipakai dalam konteks masyarakat Indonesia. Persamaan istilah-istilah
itu terletak pada kenyataan bahwa semuanya mengandung pengertian sebagai bentuk
Nikah yang tidak diumumkan (dirahasiakan) dan juga tidak dicatatkan secara
resmi melalui pejabat yang berwenang.
Nikah siri yang tidak dicatatkan
secara resmi dalam lembaga pencatatan negara sering pula diistilahkan dengan
Nikah di bawah tangan. Nikah di bawah tangan adalah Nikah yang dilakukan tidak
menurut hokum negara. Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap Nikah
liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa pengakuan dan perlindungan
hukum.
b.
Nikah Siri
Menurut Hukum Negara
Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1
tahun 1974 pasal 2 [2] disebutkan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedang dalam PP No 9 tahun 1975
tentang pelaksanaan UU Perkawinan, pasal 3 disebutkan:
1.
Setiap
orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada
Pegawai Pencatat di tempat perkawinannya dilangsungkan.
2.
Pemberitahuan
tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum
perkawinan dilangsungkan.
3.
Pengecualian
dalam jangka tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu alasan yang penting
diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa negara dengan tegas melarang adanya nikah
siri dan setiap upacara pernikahan harus memberitahukan kepada pegawai negara
yang berwenang. Bahkan negara akan memberikan sanksi pidana kepada para pelaku
nikah siri dengan alasan pernikahan siri telah menimbulkan banyak korban, yang
mana anak yang lahir dari pernikahan siri akan sulit mendapatkan surat lahir,
kartu tanda penduduk, hak-hak hukum seperti hak waris, dan sebagainya.
Hanya
dengan alasan itu pemerintah melarang sesuatu yang sah menurut syariat Islam,
sementara disisi lain pemerintah seakan lupa berapa persen dari anak Indonesia
yang lahir dari hubungan zina dalam setiap tahunnya. Dengan kata lain, perutaran
pemerintah yang melarang nikah siri ini secara tidak langsung ikut berperan
menyuburkan praktek zina di Indonesia.
c.
Nikah Siri
Menurut Islam
Hukum
nikah siri dalam Islam adalah sah sepanjang hal-hal yang menjadi dan rukun
nikah terpenuhi, dimana rukun nikah dalam agama Islam adalah sebagai berikut :
1.
Adanya
calon mempelai pria dan wanita
2.
Adanya
wali dari calon mempelai wanita
3.
Adanya
dua orang saksi dari kedua belah pihak
4.
Adanya
ijab ; yaitu ucapan penyerahan mempelai wanita oleh wali kepada mempelai pria
untuk dinikahi
5.
Qabul;
yaitu ucapan penerimaan pernikahan oleh mempelai pria (jawaban dari ijab)
Jika
dalam pelaksanaan nikah siri rukun nikah yang tertera di atas terpenuhi, maka
pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat agama Islam, hanya saja tidak
tercatat dalam buku catatan sipil. Dan proses nikah siri lainnya yang tidak
memenuhi rukun-rukun diatas maka pernikahan tersebut tidak dianggap sah menurut
syariat Islam, dalam hadits disebutkan :
“Tidak
ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil”
(HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860
dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)
2.2. Nikah
Mut’ah
a.
Pengertian
Mut’ah secara bahasa diambil dari
bahasa arab Al-Tamattu’ artinya bersenang-senang. Sedangkan Nikah Mut’ah
menurut istilah adalah perkawinan yang dilakukan untuk waktu tertentu dengan
memberikan sesuatu sesuai dengan kesepakatan dan berakhir sesuai waktu yang
telah ditentukan tanpa adanya talak. Dinamakan Nikah Mut’ah karena laki-lakinya
bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.
Ada beberapa pendapat ulama mengenai
defenisi nikah mut’ah ini, di antaranya yakni:
1. Ibnu Qudamah:
نِكَاحُ اْمُتْعَةِ اَنْ يَتَزَوَّجَ اْلمَرْأَةَمُدَّةً,
مِثْلُ اَنْ يَقُوْلَ زَوَّجْتُكَ ابْنَتِى شَهْرًا اَوْسَنَةً اَوْاِلى انْقِضَاءِ اْمُوْسِمِ اَوْقُدُوْمِ اْلحَاجِّ وَشِبْهِهِ سَوَاءٌ كَانَتِ اْلمُدَّةُ مَعْلُوْمَةً اَوْ مَجْهُوْلَةً.
Artinya:
“nikah mut’ah adalah adanya seseorang mengawini wanita (dengan terikat)
hanya waktu yang tertentu saja; misalnya (seorang wali) mengatakan: saya
mengawinkan putriku dengan engkau selama sebulan, atau setahun, atau sampai
habis musim ini, atau sampai berakhir perjalan haji ini dan sebagainya. Sama
halnya dengan waktu yang telah ditentukan atau yang belum.
2. Sayyid Saabiq mengatakan:
نِكَاحُ اْلمُتْعَةِ: اَنْ يَعْقِدَ الرَّجُلُ عَلَى اْلمَرْأَةِ يَوْمً اَوْ اُسْبُوْعًااَوْشَهْرًا. وَيُسَمّى بِالْمُتْعَةِ: لِاَنَّ الرَّجُلَ يَنْتْفِعُ وَيَتَبَلَّغُ بِالزَّوَاجِ وَيَتَمَتَّعُ اِلَى اْلاَجْلِ الَّذِىْ وَقَّتَهُ.
Artinya:
“perkawinan mut’ah adalah adanya seseorang pria mengawini wanita selama
sehari, atau seminggu, atau sebulan. Dan dinamakan mut’ah karena laki-laki
mengambil manfaat serta merasa cukup dengan melangsungkan perkawinan dan
bersenang-senang sampai kepada waktu yang telah ditentukannya.
Bertolak dari definisi di atas, maka
pengertian nikah mutah adalah suatu ikatan perkawinan yang terikat dengan waktu
tertentu, sehingga bila waktu tersebut sudah habis, maka
b.
Nikah Mut’ah Menurut Hukum Islam
Untuk menentukan status hukum tentang nikah mut’ah
maka dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam pendapat; yaitu:
1. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’I, Imam Al-Laits dan Imam al-Auzaa’iy mengatakan; “Perkawinan mut’ah itu
hukumnya haram”.
Pendapat ini didasarkan pada beberapa Hadits yang antara
lain berbunyi:
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ حَرَّمَ اْلمُتْعَلةَ فَقَالَ: يَااَيُّهَ النَّاسُ اِنِّى كُنْتُ اَذَّنْتُ لَكُمْ فِى الْاِسْتِمْتَاعِ,
اَلاَوَاِنَّ اللهَ قَدْحَرَّمَهَا اِلَل ىَوْمِ الْقِيَامِةِ. رواه ابن ماجه.
Artinya: “bahwasanya Rasulullah SAW mengharamkan kawin
mut’ah, maka ia berkata: hai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu
sekalian kawin mut’ah. Maka sekarang ketahuilah, bahwa Allah mengharamkannya
sampai hari kiamat”. (H.R. Ibnu Majjah).
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لحُوُمِ اْلحُرُوْمِ اْلاَهْلِيَّةِ.
رواه
النسائى.
Artinya: “bahwasanya Rasulullah SAW telah melarang
perkawinan mut’ah terhadap wanita pada peperangan Khaibar dan (melarang pula)
makan daging keledai peliharaan”. (H.R. An-Nasaa’i)
2. Imam Zufar berkata: perkawinan mutah
hukumnya sah, meskipun syaratnya batal. Oleh karena itu, dibolehkan dalam
ajaran Islam. Dikatakan sah karena keterangan hadits yang dikemukakan oleh
pengikut kaum Syi’ah (“bahwasanya ‘Umar berkata: dua macam perkawinan mut’ah
(yang pernah terjadi) di masa Rasulullah SAW. Maka dapatkah aku melarangnya dan
memberikan sangsi hukum terhadap pelakunya? (keduanya itu) adalah perkawinan
mut’ah terhadap wanita (diwaktu tidak bepergian) dan kawin mut’ah (pada waktu
bepergian) menunaikan ibadah hajji. Karena hal itu, merupakan perkawinan yang
berguna (pada saat tertentu), maka perlu menentukan waktu berlakunya seperti
halnya sewa-menyewa.), tetapi
syaratnya batal karena tidak disertai dengan niat kawin untuk selama-lamanya,
kecuali hanya waktu sementara saja. Bertolak dari beberapa pendapat di atas,
maka penulis mengikuti pendapat Imam Abu hanifah beserta Imam Madzhab yang
sependapat dengannya, karena memandang bahwa kebolehan kawin mut’ah telah
dihapus oleh larangan melakukannya, sebagaimana keterangan hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dan An-Nasaa’i di atas.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Nikah secara bahasa adalah berkumpul
atau bercampur, sedangkan menurut syariat secara hakekat adalah akad (nikah)
dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual) menurut pendapat
yang shahih, karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah
dalam kitab Allah -Subhanahu wa ta’ala- kecuali untuk makna at-tazwiij
(perkawinan). Kata “siri” berasal dari bahasa Arab “sirrun” yang
berarti rahasia, atau sesuatu yang disembunyikan. Melalui akar kata ini Nikah
siri diartikan sebagai Nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan Nikah pada
umumnya yang dilakukan secara terang-terangan.
Undang-Undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 2 [2] dan pasal 3 PP No 9 tahun 1975 tentang
pelaksanaan UU Perkawinan, pemerintah melarang pernikahan siri. Namun, Islam sebagai
agama yang di anut mayoritas rakyat Indonesia membolehkannya sepanjang memenuhi
persyaratan menurut syari’at Islam.
Mut’ah secara bahasa diambil dari
bahasa arab Al-Tamattu’ artinya bersenang-senang. Sedangkan Nikah Mut’ah
menurut istilah adalah perkawinan yang dilakukan untuk waktu tertentu dengan
memberikan sesuatu sesuai dengan kesepakatan dan berakhir sesuai waktu yang
telah ditentukan tanpa adanya talak. Dinamakan Nikah Mut’ah karena laki-lakinya
bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja.
Menurut pendapat jumhur ulama, nikah
mut’ah itu pada mulanya hukumnya sah (halal), tetapi kemudian diharamkan, hal
itu berdasarkan dari beberapa hadits yang dengan tegas mengharamkan nikah
mut’ah. Namun demikian, nikah mut’ah masih tetap dilestarikan khususnya oleh
kalangan pengikut Syi’ah.
3.2.
Saran
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami
menyarankan kepada teman-teman yang ingin lebih memahami tentang nikah siri dan nikah mut’ah untuk
mencari referensi tambahan melalui buku-buku yang sekarang mudah didapat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Warson Munawwir.1997. Al Munawir: Kamus arab Indonesia (Cet.
XIV).Surabaya: Pustaka Progressif
Happy
Susanto. 2007. Nikah Siri Apa Untungnya? (Cet I). Jakarta: Visimedia
Zuhaili,
Wahbah. 2008. Fiqih Imam Syafi’I
(terjemahan). Jakarta: Almahira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar